Oleh : Berto Sitompul,S.Pd.,Gr
Terpujilah Engkau Tuhanku, karena Saudari kami, Ibu Pertiwi, yang menopang dan mengasuh kami, dan menumbuhkan berbagai buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rerumputan~ Kidung Saudara Matahari (Gita Sang Surya)
Hubungan mesra antara manusia dengan alam sekelilingnya dapat kita rasakan dalam nyanyian indah Santo Fransisikus dari Asisi, seorang kudus. Dalam nyanyian yang indah ini, Santo Fransiskus dari Asisi mengingatkan kita bahwa bumi rumah kita bersama bagaikan saudari yang berbagi hidup dengan kita, dan seperti ibu yang jelita menyambut kita dengan tangan terbuka. Sungguh menarik bahwa bumi dianggap sebagai ibu, dia hanya tulus memberi kehidupan kepada anak-anaknya dan tidak pernah mengharap kembali.
Sebagai anak yang dicukupi dan didukung kehidupannya oleh Ibu Bumi, sudah semestinya kita merawat bumi dan menjaga keutuhannya. Namun kenyataanya tidak demikian, ketika bumi tak harap kembali, manusia justru mengekspolitasi sumber-sumber daya yang ada di bumi dan membuat planet bumi rusak. Ketika bumi memberi air dan udara segar untuk mendukung kehidupan, manusia justru menjadi penyebab utama dan terbesar terjadinya polusi. Kerusakan lingkungan terus terjadi dengan keserakahan manusia sebagai faktor paling dominan. Ada banyak tindakan manusia yang serakah dan semaunya sendiri terhadap alam ciptaan baik personal maupun komunal yang sering dijumpai antara lain membuang sampah sembarangan, boros air, penebangan liar, pembakaran hutan, pembuangan bahan berbahaya ke lingkungan, perburuan satwa dan lain-lain. Hal tersebut memicu ketidakstabilan dan kerusakan ekosistem temporal bahkan permanen. Bumi menjadi sakit, kualitas lingkungan turun, sumber daya alam habis, dan pada akhirnya berdampak pada manusia sendiri berupa krisis lingkungan.
Kehidupan akan tetap baik, bila relasi manusia dengan seluruh ciptaan juga baik. Untuk itu, selain pertobatan teologis, manusia juga harus melakoni pertobatan ekologis.Mereka punya banyak dosa dengan alam. Tanggug jawab manusia bukan hanya sekadar beribadah kepada Tuhan, tetapi juga ibadah merawat bumidan menjaga keutuhannya. Sebagaimana kita tahun bahwa Gereja Katolik mempunyai keprihatinan dan kepedulian terhadap fenomena kerusakan lingkungan yang mengancam keutuhan ciptaan. Melalui Ensiklik Laudato Si yang diterbitkan oleh Paus Fransiskus pada 18 Juni 2015, warga gereja pada khususnya dan semua orang, diajak melakukan tindakan-tindakan konkret menjaga keutuhan ciptaan, dimulai dari tindakan sederhana dan kontinu yang mampu membangun kesadaran personal hingga komunal sebagai bentuk pertobatan ekologis.
Dalam Ensiklik Laudato Si disebutkan ada beberapa krisis lingkungan yang perlu diperhatikan dan perlu segera diatasi. Beberapa di antaranya adalah polusi dan perubahan iklim, krisis air bersih, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Untuk itu, kesadaraan dan kepedulian terhadap keutuhan alam ciptaan menjadi sikap yang penting dan mendesak untuk segera dimiliki dan dibangun dalam diri manusia diantaranya melalui jalur pendidikan. Pendidikan sangat penting untuk meningkatkan kapasitas masyarakat mengatasi masalah lingkungan dan pembangunan.
Melalui jalur pendidikan,solusi dari berbagai krisis lingkungan dicarikan jalan keluarnya karena sejatinya generasi mendatang juga membutuhkan kesempatan untuk menikmati hidup yang lebih baik, namun kondisi tersebut sulit terwujud tanpa kesadaran dan tindakan yang tepat untuk menjaga keseimbangan lingkungan hidup. Walaupun sebagian besar masyarakat memahami fakta,dan menyatakan peduli terhadap isu lingkungan, tetapi mereka tidak menghubungkan fakta itu dengan aksi, dan perilaku mereka. Seperti halnya membuang sampah sembarangan. Tidak jarang kita jumpai orang membuang sampah dari dalam mobil saat kendaraan berjalan, ataupun melempar sampah dari motor ke sungai. Hal ini mengindikasikan bahwa perilaku apatis terhadap pengelolaan sampah sudah menggurita dari strata ekonomi rendah maupun tinggi dari jenjang pendidikan rendah sampai tinggi.
Tak bisa dipungkiri bahwa pendidikan lingkungan hidup (environmental education) di Indonesia seperti muatan lokal Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) dan Program Adiwiyata masih belum cukup membangun kesadaran kritis dan mendorong perubahan perilaku demi terwujudnya keberlanjutan. Di samping pendidikan lingkungan hidup, kita juga perlu membicarakan ekopedagogi. Ekopedagogi (Mbula, 2015) bertujuan untuk mewargabumikan manusia. Artinya mendorong setiap orang untuk mengintegrasikan keadilan sosial, perdamaian,dan pendidikan lingkungan. Laudato Si menekankan tujuannya agar terwujud keselamatan dan keutuhan ciptaan. Pada artikel 209, Laudato Si tertulis agar orang muda memiliki kepekaan ekologi dan semangat membela dan mencintai lingkungan.
Ekopedagogi melihat tujuan pendidikan bukan untuk mencapai tujuan bagi dirinya sendiri, tetapi untuk masa depan bersama. Hal ini sesuai dengan seruan Paus Fransiskus akan pertobatan ekologis. Sejalan dengan itu, Dohut (2015) memandang bahwa ekopedagogi menjadi cara untuk berlatih peserta didik bertanggung jawab dan berbelarasa terhadap alam semesta.
Sebagai basis pembangunan berkelanjutan, ekopedagogi menawarkan empat sistem pengajaran. Pertama, pengajaran tentang lingkungan sosial dan alam melalui penyiapan teks-teks terkait lingkungan hidup bagi anak-anak, sehingga mereka mampu menyingkap isu-isu lingkungan terkini, akar dari isu, serta strategi untuk menanggapi isu baik secara individu maupun kolektif. Kedua, pengajaran dalam lingkungan sosial dan alam yang menuntun para siswa kepada kesadaran terhadap relasi mereka dengan lingkungan baik sosial maupun alam. Ketiga, pengajaran melalui lingkungan sosial dan alam yang mengadaptasi tugas-tugas kelas, latihan menulis, kerja kelompok, pengalaman, perjanjian dengan masyarakat untuk menjelmakan pengetahuan ke dalam aksi sosial, keadilan lingkungan, kesejahteraan dan keberlanjutan. Sistem pengajaran keempat adalah pengajaran tentang saling keterkaitan antarmakhluk yang berkelanjutan.
Ekopedagogi atau pendidikan lingkungan kritis sesungguhnya bukanlah hal baru dan memiliki relevansi dengan kurikulum yang berlaku saat ini, Kurikulum Merdeka. Isu ini mendesak untuk kita pikirkan bersama dalam menata praktik pendidikan yang berjiwa Fransiskan. Isu ekapedagogi menjadi penting karena memberikan kerangka kerja yang komprehensif untuk membangun kesadaran kritis tentang keberlanjutan dalam proses sekolah. Hal ini juga menjadi sangat relevan mengingat tantangan lingkungan yang sangat kompleks yang dihadapi oleh Indonesia dan dunia secara keseluruhan.
Penulis adalah praktisi ekopedagogi dan pendiri Bank Sampah Mengajar