Oleh: Mardi Panjaitan*)
Bayangkan jika belajar bukan hanya soal mendengar guru bicara atau melihat papan tulis, tapi juga sambil meraba pasir, mendengar suara alam, mencium aroma terapi, dan melompat di atas bola warna-warni. Untuk anak-anak dengan autisme, cara belajar semacam ini bukan hal aneh—justru itulah yang mereka butuhkan.
* * *
DI BANYAK RUANG KELAS DI NEGERI INI, proses belajar masih berjalan satu arah: guru bicara, murid mendengar. Sistem ini mengasumsikan bahwa semua anak memiliki cara belajar yang sama. Padahal, ada sebagian anak yang justru kesulitan mengikuti cara belajar tersebut. Mereka adalah anak-anak dengan kebutuhan khusus, termasuk anak dengan Gangguan Spektrum Autisme (GSA). Dan untuk mereka, duduk dan mendengar saja tidak cukup.
Anak dengan autisme memiliki karakteristik unik dalam merespons rangsangan di sekitarnya. Beberapa sangat peka terhadap cahaya, suara, atau sentuhan. Sebaliknya, ada yang justru kurang peka terhadap rangsangan tersebut. Kondisi ini memengaruhi kemampuan mereka untuk fokus, tenang, dan merespons lingkungan sekitar. Akibatnya, banyak dari mereka yang tidak bisa mengikuti pembelajaran konvensional seperti anak-anak lainnya.
Di sinilah pendekatan multisensorik menawarkan harapan baru. Multisensorik adalah metode yang melibatkan berbagai indra dalam proses belajar: penglihatan, pendengaran, sentuhan, penciuman, hingga gerak tubuh. Anak tidak hanya diajak untuk melihat dan mendengar, tetapi juga meraba, mencium, bergerak, dan bermain. Semua dilakukan untuk menciptakan lingkungan belajar yang sesuai dengan kebutuhan sensori mereka.
Bayangkan seorang anak autis yang sulit fokus di kelas tiba-tiba bisa tenang saat duduk di kursi goyang sambil memegang bola tekstur. Atau anak yang biasanya gelisah justru menjadi lebih tenang saat berada di ruangan dengan lampu temaram dan musik lembut. Inilah kekuatan dari pendekatan multisensorik—ia tidak memaksa anak menyesuaikan diri dengan sistem, tetapi justru menyesuaikan sistem dengan kebutuhan anak.
Sayangnya, pendekatan ini belum menjadi arus utama dalam dunia pendidikan, terutama di sekolah-sekolah inklusif. Banyak guru yang belum mendapat pelatihan, fasilitas yang terbatas, dan sistem pendidikan yang terlalu fokus pada target akademik membuat metode ini masih terpinggirkan. Padahal, alat-alat multisensorik tidak harus mahal atau rumit. Bola warna-warni, kain tekstur, musik relaksasi, atau bahkan cahaya remang sudah bisa menjadi stimulus positif bagi anak-anak autis.
Saya percaya, sudah saatnya pendidikan inklusif di Indonesia naik kelas. Kita tidak bisa terus memaksakan standar tunggal dalam pembelajaran. Pendidikan seharusnya bukan soal siapa yang paling cepat paham, melainkan siapa yang diberi kesempatan belajar dengan cara yang sesuai.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu memberikan perhatian khusus pada pendekatan multisensorik ini. Sekolah inklusif perlu dibekali fasilitas sederhana dan pelatihan bagi guru agar mampu menghadirkan ruang belajar yang nyaman dan efektif bagi anak-anak autis. Pemerintah daerah, komunitas, dan orang tua juga harus dilibatkan dalam membangun ekosistem pembelajaran yang berpihak pada kebutuhan anak.
Lebih dari sekadar metode, multisensorik adalah cara kita menghargai keragaman cara berpikir dan belajar. Ini adalah bentuk nyata bahwa setiap anak, apapun kondisinya, berhak merasakan bahwa sekolah adalah tempat yang aman, nyaman, dan menyenangkan.
Jika kita benar-benar ingin membangun pendidikan yang inklusif dan manusiawi, maka perubahan harus dimulai sekarang—bukan dari gedung megah atau kurikulum canggih, tapi dari keberanian untuk memahami bahwa belajar tidak harus sama, karena setiap anak itu istimewa dengan caranya sendiri.
*) Penulis adalah Kepala SLB Negeri Pembina dan Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Khusus Universitas Negeri Padang yang menaruh perhatian pada isu pendidikan anak berkebutuhan khusus.