Oleh: Pretty Luci Lumbanraja
Biasanya kalau ada acara di rumah, Mansir langsung ambil peran membantu Emak memasak. Mulai dari acara ibadah, hingga syukuran lahiran anak lembu. Dua hari lagi, ada syukuran dalam rangka diterimanya abangnya jadi pegawai negeri sipil. Sudah lama Bapak dan Emak menantikan abang mendapatkan pekerjaan. Sebab sudah hampir 6 tahun dia menganggur.
Abangnya termasuk anak yang baik. Selama kuliah dia sungguh belajar, selama berorganisasi dia ambil peran. Memang belum saat yang tepat bagi abang untuk mendapatkan pekerjaan. Bukan dia tidak mau merantau. Bapak dan Emak melarangnya. Lantaran dia mengidap penyakit asma. Jika kambuh siapa yang bisa menolong abang. Syukurnya abang diterima sebagai pegawai yang masih di satu kabupaten dengan Bapak dan Emak. Harapan orangtuanya bisa dekat dengan anak-anak mereka, pinomat satu aja. Siapa tahu bisa menolong jikalau ada terjadi sesuatu yang buruk pada orangtua.
Sementara Mansir masih diijinkan Bapak dan Emak mencari kerja di perantauan. Tubuhnya yang kekar dengan onggokan otot yang gempal. Membuat siapa saja menyeganinya. Perangai wajahnya saja yang sangar, tetapi hatinya sangat lembut bak malaikat. Bagaimana bisa dia belum sanggup meninggalkan Emak. Di rumah, Mansir yang diandalkan Emak kemana-mana. Pergi ke ladang, mengangkat air, memberi makan lembu, dan lainnya.
Saat itu, Mansir sedang sibuk menulis apa-apa saja yang hendak dia beli di pasar. Cabe, tomat, bawang merah, bawang putih, sayur, ikan, garam, kacang tanah, gula merah, jahe, kerupuk hingga bahan-bahan yang tidak disuruh Emak bakal dia beli. Emak selalu setuju-setuju saja. Ia senang anak laki-lakinya itu mau membantunya memasak.
Mansir tidak peduli jika di pasar ia bertemu dengan orang lain yang dia kenal. “Memang anak baik budi lah kau ini. Senang kali lah Emakmu di rumah ya, Sir,” puji setiap penjual yang sudah menjadi pelanggan setianya.
Begitu jugalah yang selalu ia dengar dari pembeli lain, tukang parkir, hingga peminta-peminta di pasar itu.
“Jadi siapalah yang memasak jika emak mu tidak di rumah?”
“Saya, Bu.”
“Heh!! Anakku itu. Wedok. Yang malasan. Boro-boro disuruh masak. Ke pasar aja tidak mau,” sahut pembeli lain.
“Baik kalilah si Mansir ini sama Emaknya. Sama anak perempuanku lah kau nanti ya,” ledek mereka dengan maksud yang membuat Mansir jengkel.
Mansir sudah biasa mendengar hal itu. Tapi dia mencoba tidak peduli. Di pikirannya bagaimana ia bisa membantu Emaknya. Soal memasak ia bisa diandalkan. Mulai dari mengolah bumbu apa saja bisa dilakukan. Rahasianya hanya satu. Cukup diamatinya saja Emaknya itu memasak setiap hari. Rasa lapar mampu dihalau asal makan masakan Emak.
Setiap saat Mansir ingin Emaknya yang memasak. Makan masakan Emak adalah kebahagiaan penuh dan mampu membuatnya berjingkat-jingkat. Mulai dari tumis sayur hasil kebun, masakan yang ringan sekalipun. Ia cukup mengamati dan memastikan kelihaian Emaknya. Meskipun Racikan dan takarannya sama, Mansir merasa ada cita rasa tersendiri dari masakan buatan Emaknya tersebut.
Sesampainya di rumah, Mansir mengupas dan mempersiapkan bumbu-bumbu. Membersihkan ikan dan sayur, mempersiapkan buah dan minuman. Ia pilah bagian sayur yang sudah menguning, memetik tangkai-tangkai cabe sebelum ditutupi dengan koran untuk dimasukkan ke kulkas dalam sebuah wadah. Bawang merah dan putih dikupas dan dimasukkan ke dalam wadah tertentu. Setiap buah dicuci dan diletakkan terpisah. Sungguh lihai dia mempersiapkannya. Habis itu, Emak tinggal memasak saja. Semua bahan dan perlengkapan sudah selesai dipersiapkannya.
“Emak tenang saja dulu. Biar aku mempersiapkan bumbu-bumbunya lebih dulu.” Mansir berusaha agar tidak membuat Emaknya capek. Ia tahu memasak itu cukup melelahkan. Mansir anak yang baik budi. Sambil menunggu Emaknya memasak, ia belajar. Sesekali dia mengintip dan mencatat semua resep Emak.
Mansir menggelayut. “Emak masukkan apa tadi ke wajan kok bisa seharum ini? Santannya berapa takar, Mak? Bawangnya berapa siung?” Emak selalu disabet dengan segudang pertanyaan. Itu pun Emak selalu sabar menjawab satu per satu pertanyaan Mansir.
Ia tidak takut dengan letupan minyak dan uap panas rebusan. Ia tidak takut tangannya berbau amis dan membuatnya tidak berselera makan. Ia tidak takut darah ikan atau tangannya kepanasan karena mengulek sambal.
Karena Mansir anak yang berbakti pada Emak, membuatnya diterima di pekerjaan yang bagus. Rapalan doa Emaknya setiap malam langsung dijawab. Bagimanapun tidak mungkin Mansir bersama Emaknya terus bercokol riang di dapur tanpa dirundung kecemasan akan masa depan yang terus menyergap. Mansir harus hidup mandiri dan sukses. Namun, lokasi pekerjaannya sangat jauh dari kehidupan Emak. Di salah pedalaman desa di provinsi Kalimantan.
“Mendapatkan pekerjaan itu sulit, Nak. Berangkatlah. Emak bakal sehat disini. Ada abangmu yang menjaga.” Tidak mungkin Mansir menolaknya. Sejurus ia jadi iri dengan abangnya itu. Bisa bekerja dekat orangtuanya yang kian menua. Sebenarnya Mansir tetap bahagia. Tekadnya hanya ingin membahagiakan orangtua. Hanya saja dia merasa berat hati. Ia pasti merindukan Emak dan masakannya.
Untuk tahu kabar Emak, Mansir enggan berkomentar dengan abangnya itu. Dia tidak terlalu dekat. Abangnya meskipun dilanda sakit rutinan tapi tidak dermawan soal bertukar kabar.
Awal-awal bulan bekerja, Mansir masih mampu menahan diri. Lambat laun ia semakin merindukan masakan Emaknya. Katanya, tidak ada masakan yang seenak buatan Emaknya. Ia mencoba memasak sendiri di mess kantor tempat ia tinggal. Dengan racikan dan takaran yang sama pun tidak menghasilkan rasa yang dia mau.
“Besok si jantan akan dipotong. Sudah beberapa hari ini di sakit. Keburu mati, lebih baik dimasak saja.” Mendengar pernyataan Emaknya itu Mansir semakin sedih.
“Mak, kenapa dipotong?” pertanyaan-pertanyaan Mansir yang membingungkan untuk dijawab dengan nalar dan pikiran Emak.
“Kau ini. Kalau tidak semua yang dipelihara bisa dipotong. Sudah habislah air matamu menangisi ikan-ikan kita yang sudah kau makan selama ini. Jangan kau tangisi masalah yang ringan, bagaimana jika Emakmu ini sudah tiada. Disitulah kau menangis sepuasnya.”
Mata Mansir berlamur beriak cemas. Makin bercampur aduk kesedihan yang dialaminya. Merindukan Emak atau masakannya. Atau si jantan yang telah tiada. Baru kali ini dia menangisi masakan Emaknya. Atau barangkali dia bersedih hati karena tidak bisa mencicipi kealotan si jantan yang sudah diolah (*)
*Penulis adalah Cerpenis dan bergiat dalam Perhimpunan Suka Menulis (Perkamen).
Klik subscribe, untuk mendapatkan pemberitahuan informasi terbaru.