Oleh: Pretty Luci Lumbanraja
Waktu Amang itu melihat banyak bunga yang bermekaran di halaman rumah kami, ia teringat akan istrinya. Ia tahu bahwa istrinya itu amat menyukai bunga. Bunga-bunga menjadi penyembuh pelipur lara kehidupan mereka. Ia tahu bahwa Mamakku pasti memberikan tunas bunga setiap kali ia minta. Setiap melihat Amang itu, batin Mamakku riuh. Bahkan untuk membeli bunga, Amang sepuluh kali berpikir. Tapi, Mamak harus membeli tunas bunga pada teman sekerjanya, ia tidak perlu melakukan yang sama pada orang yang susah. Bunga itu semakin tumbuh lebih indah di tempat ia berada.
Hanya kita yang nampaknya jengkel. Amang itu tidak segan meminta tunas bunga yang sudah lama kami tunggu. Bunga itu dibandrol dengan harga yang cukup mahal. Kami takut jika tunas yang baru dicabut akan mematikan induk bunganya. Tapi Mamak tidak segan memberi. Bahkan, ia menggunakan parang untuk mengambil tunas bunga tersebut.
Pada setiap tanaman yang ukurannya tunasnya cukup besar, Mamak rela memberikannya meski harus mengorbankan pot dan tenaga. Potnya menjadi pecah. Sementara Mamak menjadi lelah. Mamak tahu betul menempatkan dirinya untuk menolong orang lain. Apalagi Amang yang meminta ini sudah dianggap seperti keluarga sendiri.
Amang ini seorang “Paragat”. Paragat adalah sebuah julukan bagi pekerja yang mengambil sari dari pohon Nira. Untuk mengambil nira itu, Amang harus memanjat pohon Nira hingga empat meter tingginya. Ia menaiki bambu dengan jempol kakinya. Ia memanjatnya sendiri. Tidak perlu ada orang lain yang menjaganya dari bawah.
Pagi-pagi ia sudah datang menyusuri beberapa rumah yang menerimanya sebagai paragat. Beberapa jerigen kosong dibawanya dengan menggunakan sepeda motor yang sudah lama. Dua di depan dan empat jerigen diikat di belakang. Ada juga sebuah pukulan khusus yang selalu dibawanya kemana-mana. Pukulan itu terbuat dari kayu. Teksturnya di setiap tepi telah halus karena memukuli pelepah nira. Pukulan itu tidak besar. Namun, bunyi yang dihasilkan sangat khas. Berdentum dengan lembut. Tidak membuat pendengar takut.
Amang selalu mendatangi rumah kami di pagi dan sore hari. Waktunya selalu sama. Sekitar pukul enam pagi ia sudah memanjat pohon untuk menaruh jerigen-jerigen. Ketika sore hari ia datang untuk menurunkan jerigen.
Amang ini seorang yang ramah dan cerita. Sesekali mulut bacarnya berceloteh dengan Mamakku yang sudah dianggapnya seperti kakaknya sendiri. Terkadang Mamak, Bapak, dan Amang berbincang-bincang sehabis mengambil nira dan menaruh jerigen. Dari cerita itu Amang mau menceritakan pendapatannya sehari-hari. Di daerah tersebut sudah banyak orang-orang yang menanam pohon Nira. Maka banyak juga yang menjual minuman “Tuak”. Tuak adalah minum fermentasi dari nira. Jika berlebihan dikonsumsi dapat memabukkan.
Karena pendapatan Amang tidak menentu, sedihnya tuak-tuak itu tidak habis setiap hari. Untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari, istrinya membantu pemilik rumah makan. Disana ia bertugas mencuci piring dan membantu membersihkan dapur masak. Meskipun itu mereka tetap bersyukur dan selalu bahagia. Terkadang, Amang mau membawa ke empat anaknya datang mengunjungi rumah. Sesampainya di rumah ibu menawarkan makanan pada mereka. Anak-anaknya masih kecil. Mereka manis, juga sopan. Tidak seperti anak lain kebanyakan, mereka bersikap tenang dan patuh terhadap arahan Amang.
Suatu ketika aku mendengar cerita dari adik bahwa ia melihat Amang itu menangis ketika di atas. Terlihat ia terisak-isak. Setelah turun, ia bersikap biasa seperti tidak terjadi apa-apa. Kami tahu saat ia menyampaikan jumlah jerigen yang didapat. Kami pun mencatatnya dalam satu buku untuk dihitung sekali dalam sebulan.
Di lain hari aku pun mencoba mengawasinya, Amang itu nampak tertawa sendiri. Ia tertawa seperti orang frustasi. Wajahnya pun kembali seperti biasa ketika sudah di bawah. Namun, ketika ia mengajak salah satu anaknya, ia tidak melakukan demikian. Kami pun merasa bingung melihatnya seperti itu. Mungkin saja telah terjadi sesuatu yang buruk di rumah. Kami pun bingung, karena Amang termasuk sering membawa bunga-bunga kepada istrinya. Tidak mungkin semuanya baik saja saat Amang masih suka tersedu sedan.
Pada sore hari ia datang lebih awal dari biasanya. Namun ia pulang lebih lama juga dari biasanya. Dua jam ia berada di belakang. Kami tidak berani menemuinya karena sikapnya yang tampak aneh belakangan ini. Letak pohon-pohon nira itu tidak terlalu rapat. Beberapa pohon terlihat dari dapur belakang. Sisanya berada jauh di belakang. Entah apa yang dilakukan Amang di belakang. Ia tidak mungkin pulang melewati jalur belakang. Karena sekeliling rumah sudah dibangun pagar yang tinggi. Sudah pasti ia masih di belakang. Kami pun penasaran. Kami lihat dia masih bertengger di atas. Dahan pohon nira kuat untuk sebagai pegangan.
Dia tidak mengacuhkan kami. Malahan dia menyanyi sebuah lagu di atas. Kami malah bercanda ria di bawah. Ada sebuah pondok di belakang yang dibuat Bapak sambil memantau ternak-ternaknya makan. Tiba-tiba beberapa buah aren jatuh di atas pondok. Sengnya berbunyi nyaring. Kami terkesiap.
“Kalian pergi saja. Mainnya di depan ya,” Amang mengulang-ulang kalimat yang sama.
Kami yang bercokol riang langsung pergi kasak-kusuk. Tak lama Amang masuk ke rumah dan menghitung jumlah jerigen yang didapat. Tak satu pun kami berani bertanya. Cuman mulut adik tak perai mengoceh.
“Amang, kenapa di atas lama kali? Kadang juga kami lihat Amang mau menangis. Tadi pun kami melihat Amang menyanyi sangat bahagia.” Geram nian hatiku. Adik berani menyabetnya dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Amang tidak mau berpanjang mulut.
“Aku sedang menghibur istriku yang sedang menangis”, katanya. Kami melongo dan tidak berkutik. Amang pergi sambil tersenyum sumbing. Ini perkara yang runyam. Mana mungkin ada istrinya di atas sana. Hantu wanita? Tanpa tedeng aling-aling kami pun penasaran dan memberondong Mamak dengan pertanyaan yang sama. Mamak bilang bahwa begitulah yang dilakukan setiap paragat agar air niranya mengalir dengan deras. Cara kehidupan paragat yang dipunggungi nasib.” Kami malah semakin bingung dengan perkataan Mamak ditambah lagi untuk siapa bunga-bunga pemberian Amang itu selama ini. (*)
*Cerpenis tinggal di Bogor dan bergiat dalam komunitas PERKAMEN (Perhimpunan Suka Menulis)
Klik subscribe, untuk mendapatkan pemberitahuan informasi terbaru.