Oleh: Pretty Luci Lumbanraja
Saat memasuki gang kamar, pintu depan kamarnya berderit pelan karena dihembus angin. Lampu memang tidak menyala. Aroma amis menguar dari balik ruangan. Seperti sudah bertahun-tahun kamar itu telah kosong. Rohana melirik sedikit. Dari pantulan cahaya lampu luar, bercak-bercak darah menodai dinding dalam kamar.
Beberapa masa sebelum kejadian itu. Rohana merasa tidak tinggal di bangunan kosong lagi. Seisi kamar mulai terisi semenjak pelonggaran di masa pandemi. Kala itu, hanya beberapa mahasiswa saja yang memilih tinggal di kota. Mereka tidak pulang lantaran takut membawa musibah bagi keluarga. Padahal pembelajaran di kampus dan sekolah dilakukan secara daring. Kejadian ini berlangsung lama. Berbulan-bulan berganti tahunan. Namun, tidak yang dialami Rohana. Pekerjaan memaksanya harus tetap bertarung dengan virus-virus kota.
Rohana pun merasa kesepian. Untuk bercanda gurau bersama rekan kerja sungguh tidak memungkinkan. Gelak tawa, canda gurau menjadi pantangan masa kini. Bukan jati dirinya harus berdiam diri dalam ruangan empat kali empat meter tersebut. Masalahnya jadwal ke kantor juga dibatasi. Terkadang dia harus bekerja dari rumah itupun tidak dapat dipastikan, tergantung permintaan atasan. Semakin bertambah beratlah rasa kesepian yang dialaminya.
Awalnya Rohana merasa sendiri di bangunan itu. Selain ada bapak penjaga kosan sekaligus ibu tukang bersih-bersih, Rohana ditemani dengan kehadiran beberapa anak kucing yang datang untuk makan. Beberapa pekerja lain juga menetap di kamarnya masing-masing. Keberadaan mereka terusik saat sesekali memasak makan malam di dapur bersama. Hanya sekedar saling bertegur sapa.
Budaya anak-anak muda yang sibuk dengan keseharian pekerjaan membuat sikap tidak acuh pada lingkungan sekitarnya.
***
Sepulangnya Rohana dari kantor, ia mendapati depan kamarnya berdebu. Padahal pagi tadi, ia sudah sapu sebelum berangkat bekerja. Saat itu sedang musim hujan. Posisinya, kamar Rohana berada di paling ujung lorong lantai tiga. Di sepanjang lorong itu terdapat delapan kamar. Di antaranya hanya tiga kamar saja yang berisi.
Memang di ujung kamar paling awal sebelum masuk ke lorong, pemilik kamar itu suka membuang sampahnya di luar. Meskipun masuk tepat ke dalam ke tempat sampah, tetap saja kucing suka membongkar sampah-sampah itu. Bukannya ia peka untuk membersihkannya, malah dibiarkan begitu saja. Rohana belum sampai pada batas kesalnya. Daripada membiarkan hal itu kotor berlama-lama, ia lebih baik memungut sampah-sampah itu saat hendak ke luar.
Namun, tidak ada perubahan dari hari ke hari. Akhirnya Rohana melabelinya sebagai penghuni kamar kos yang “penjorok.” Daripada memungut, Rohana lebih baik menendang sampah-sampah yang menghalangi langkahnya.
Rohana hendak masuk ke kamar, debu dan pasir berserakan di depan pintu kamarnya. Ia tidak menggubris, barangkali masuknya debu itu berasal dari bawah gerbang pembatas antara bagian luar dengan dinding samping. Oleh Rohana, ia sapu kembali bagian itu hingga bersih tanpa berceloteh. Itu adalah hal yang biasa. Tidak mungkin penghuni kamar yang berbeda satu kamar di sisi sebelah kirinya itu yang sengaja menyeret hasil sapuannya.
Lagipula, anak gadis itu juga jarang berada di dalam kamar. Tampaknya, barangkali dia juga pekerja sama sepertinya. Siang hari tidak menunjukkan suara sama sekali. Dan benar, di malam hari dia baru menunjukkan keberadaannya. Rohana semakin yakin, apalagi saat didengarnya gadis itu tertawa terpingkal-pingkal. Barangkali, sanking serunya terlibat dalam pembicaraan dengan seseorang, dia terlarut dalam suasana yang menyenangkan. Hingga lupa waktu.
Percakapan mereka berlangsung hingga larut malam. Rohana mulai terganggu dengan aktivitas gadis itu yang mengganggu jam istirahatnya. Ia asyik sendiri, sementara Rohana menderita sendiri. Ia harus bangun lebih awal karena jadwal harus bekerja di kantor keesokannya. Rohana enggan menegur. Pikirnya takut jikalau gadis itu tersinggung.
Namun, suatu ketika Rohana tidak bisa diam. Bukan karena suara tawa yang dihasilkan gadis itu. Dia menangis tersedu-sedu. Bisa ia menerka suara saat itu adalah antukan kepada ke dinding. Rohana panik. Tapi tidak bisa berbuat apa-apa, jangan-jangan gadis itu terlibat dalam pertengkaran di balik telepon. Lagipula tidak mungkin orang asing naik dan masuk ke kamar untuk menyakitinya.
Setelah beberapa menit, kondisi mulai tenang. Selama beberapa hari ke depannya Rohana tidak terusik dengan apapun yang terjadi di kamarnya. Tidak ada tawa dan tangisan. Selama beberapa hari Rohana pergi bersama rekanan terkait pekerjaan. Sepulangnya dari pekerjaan, ia dapat sampah-sampah berserakan di depan kamarnya. Rohana ingat pasti ia meninggalkan kamar dengan kondisi bersih, di dalam maupun di luar.
Rohana merasa kesal. Tapi tidak tahu mau melampiaskan kemarahannya kepada siapa. Apa mungkin gadis yang berada di lorong sana yang menyeret sampahnya sejauh itu. Apa mungkin dia hendak mencari perkara? Dengan sabar Rohana membersihkannya.
Malamnya, ia hendak istirahat karena sanking lelahnya. Tepat pukul tiga pagi. Rohana tidak bisa melawan rasa kantuknya. Suasana sangat gaduh. Ia mendengar gadis itu menangis lagi. Entah apa yang dialami sekarang. Selang beberapa menit kemudian ia tertawa lagi. Rohana cukup terganggu. Butuh waktu yang lama hingga kondisi benar-benar kondusif. Ia geram sendiri tetapi tidak ingin menimbulkan keributan yang baru. Barangkali gadis itu terlibat dengan masalah keluarga, tidak memungkinkan Rohana menegur. Yang ada dia bentuk protesnya akan ditanggapi dengan cara yang berbeda. Ibarat api yang terpercik bensin sedikit membuat kondisi semakin membahayakan. Lagi-lagi Rohana memilih untuk bersabar dan menghindar.
Ia pun menemui bapak penjaga kos untuk pindah kamar. Karena soal kenyamanan, Rohana pun diperbolehkan untuk pindah. Di kamar yang baru dia merasa lebih nyaman. Tidak ada keributan malam hari. Tidak ada tawa dan tangisan yang mengagetkan. Hingga waktu berjalan berbulan-bulan.
Saat akhir pekan, Rohana terusik dengan aktivitas bapak dan ibu penjaga kos. Ia melihat mereka sedang sibuk mondar-mandir di sekitar kamarnya dulu.
“Sibuk pindahan ya, Bu?”
“Iya ini, Mba. Gadis depan kamar Mba dulu. Sepertinya anaknya stres gitu, Mba. Kita waktu bongkar-bongkar kamarnya, aneh-aneh aja isi di dalam kamarnya itu. Banyak sampah mainan anak-anak, uang mainan, dan benda-benda unik yang sudah kosong. Kita juga nemuin telur ayam kampung yang dieram di dalam kain yang tertutup dan ditempatkan di dalam kamar mandi Mba. Terus di dindingnya itu, ada bercak-bercak darah. Saya aja tidak berani membersihkannya sendiri, Mba”.
Mendengar pernyataan ibu kos itu, aku merasa ngeri. Kuingat-ingat lagi sampah-sampah yang ditempatkan berada di depan kamar ku saat itu, memang seperti sampah mainan anak-anak. Lantas mengapa ditempatkan di depan kamarnya. Rohana hampir terlarut dalam pikiran.
“Memang Mba. Salah satu temannya itu pernah datang ke bawah mencari-cari dia. Katanya, sudah lama dia tidak hadir di dalam perkuliahan ganti. Saya dengar-dengar dia nyaris nda tamat, Mba. Anaknya juga suka nangis-nangis dan ketawa sendiri.”
Rohana saat itu mencoba mengingat-ingat kembali, kedengarannya gadis itu tidak sedang bicara-bicara sendiri. Seperti terdengar ada teman bicaranya. Bulu romanya mulai bergidik. Rasanya tidak mungkin gadis itu depresi (*)
*Penulis seorang cerpenis dan bergiat dalam Perhimpunan Suka Menulis (Perkamen).
Klik subscribe, untuk mendapatkan pemberitahuan informasi terbaru.