Connect with us

PENDIDIKAN

Gayung Bersambut, JNE Fasilitasi Mimpi Mahasiswa KKN & Masyarakat Bipolo

Telah Terbit

on

Oleh: Audry Uyuni

Seusai melaksanakan pembekalan selama tiga hari, lantas 61 mahasiswa tersebut dipecah menjadi tujuh kelompok desa dengan lima kelompok desa masing-masing beranggotakan 9 orang dan dua kelompok desa sisanya beranggotakan 8 orang.

“Suatu kesyukuran, haru lagi bangga, aku berhasil menjadi representatif kampus untuk mengikuti KKN yang diakomodir oleh Kemenag ini,” imbuhku dalam hati.

Saat pengabdian itu, aku tidak pernah meminta mendapati keluarga KKN bernama Amanca, Faradilla, Shofi, Iqbal, Yusril, Rahman, dan Suryo. Bagaimana mau minta seperti itu, mengenal mereka saja ku tidak tahu. Tapi yang kupinta adalah dibersamai dengan orang-orang terbaik, rupanya itu mereka orangnya.

Kami berdelapan ditempatkan di desa paling ujung diantara kelompok lainnya yang dinamai Desa Bipolo. “Perlu waktu satu setengah jam dari kantor camat ke kantor desa, belum lagi harus jalan kaki sejauh lebih kurang satu kilo meter ke posko tempat tinggal mana harus membopong ransel, menggeret koper di tengah terik panas matahari, ya Allah, begini perjuangan KKN itu ya,” celetukku kepada mereka. Padahal baru hari pertama memulai perjalanan sudah banyak mengeluh.

Awalnya kami sempat ketar-ketir, namun kekhawatiran itu luntur seketika saat merasakan sambutan hangat masyarakat Bipolo kepada kami. Hari itu adalah hari penerimaan kami di balai desa dengan dibersamai aparatur desa dan masyarakat Bipolo, yang mana pertemuan itu memudahkan kami melakukan proses pendekatan emosional sekaligus pertemuan berharga untuk kami berdelapan.

Seorang pria berbadan tinggi tegap, berkumis hitam tebal menyambut kami sambil menitip sebuah pesan. “Kehadiran kalian walaupun cuma sebulan pasti harus meninggalkan kesan yang baik untuk Bipolo,” ujar Melkiur Lasena yang dimandatkan sebagai Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Bipolo yang paling gagah menurut kami.

Audry Uyuni (foto kedua dari kiri) bersama teman KKN mengenakan kain tenun buatan ibu-ibu UMKM Desa Bipolo.

Terhitung genap 40 hari kami melakukan pengabdian KKN di Desa Bipolo. Disana kami banyak belajar moderasi dan toleransi beragama dalam tataran praktik, tidak hanya teori yang kami pelajari di bangku sekolah ataupun menara-menara kampus dengan segala dogmanya.

Disana juga kami dituntut menemukenali aset desa. Sebagai langkah awal, kami menggelar Focus Group Discussion/FGD pada (22/1/2020) lalu bersama aparatur desa dan masyarakat setempat. Dari hasil FGD tersebut kami memperoleh beberapa aset desa seperti pertanian, peternakan, perikanan, pertambangan, dan para pelaku UMKM bidang tenunan.

Lalu kami mengajak masyarakat Bipolo untuk membuat skala prioritas yang itu diwakilkan oleh Shofi dan Faradilla yang memoderatori FGD kala itu. “Jadi dari hasil diskusi yang sudah kita jalani, kita simpulkan dan sepakati bersama bahwa tenun menjadi aset prioritas Desa Bipolo. Kami sebagai fasilitator akan membantu semaksimal mungkin untuk kita sama-sama mengembangkan tenun Bipolo,” ujar keduanya saat mengenakan almamater kebanggaan masing-masing.

Ibu-ibu penenun Desa Bipolo. (Audry Uyuni)

Kendala Ibu-Ibu Penenun

Penenun di Bipolo sendiri didominasi oleh kaum perempuan. Para ibu penenun tersebut turut andil dalam membantu kebutuhan ekonomi di keluarganya. Kala itu setelah penyambutan di balai desa siang hari, sorenya kami mengunjungi para ibu penenun. Bincang demi bincang, ternyata mereka mengalami kesulitan dimana untuk menenun masih mengandalkan alat tenun tradisional yang mana membuat produksi satu kain saja memakan waktu dua minggu lamanya.

Namun, berbeda sekali dengan tenun yang diproduksi bersama-sama dengan fasilitas yang dikeluarkan BumDes. Dimana terlihat perbedaan yang cukup signifikan yaitu produksi pengerjaan untuk dua minggu mampu menghasilkan 200 lembar kain tenun.

Tentu, dari kedua produksi tenun tersebut berpengaruh terhadap kualitas dan harga. Kain yang diproduksi ibu-ibu penenun tiap rumah dengan alat tradisional lebih bagus karena pengerjaan lebih teliti dan jeli meskipun waktu pengerjaan lebih panjang. Dan itu yang membuat harganya lebih mahal daripada tenun yang diproduksi ibu-ibu secara kolektif.

Di lain sisi, ibu-ibu penenun masih terhalang kendala yakni; keterbatasan akses pemasaran dan sempitnya pangsa pasar. Mereka hanya memproduksi kain ketika mendapatkan pesanan dari warga sekitar. Masalah tersebut disebabkan karena keterbatasan skill di bidang IT yang menjadikan penjualan secara offline sebagai satu-satunya cara menjual produk. Padahal, di era digital kini, hampir dipastikan aktivitas jual beli sudah merambah ke ranah online.

Di pagi hari, pada 12 Januari 2020 lalu kami belanja ke Pasar Camplong dengan mengendarai otto (mobil pick up) yang menempuh jarak sekitar satu setengah kilo meter dari posko. Sembarinya belanja kebutuhan mingguan, kami melihat gerai JNE disana. Mungkin inilah yang disebut gayung bersambut, kami memang awalnya berinisiasi menggelar festival yang mengangkat tenun Bipolo.

Semua bermula lewat celetuk salah satu dari kami berdepalan ketika melihat gerai jasa ekspedisi tersebut. “Gimana kalau kita lobby pihak JNE manatahu bisa jadi sponsor di acara kita nanti,” sahutnya. Lantas kamipun sepakat akan hal itu.

Para warga dan anak-anak Desa Bipolo antusias mengikuti festival budaya. (Audry Uyuni)

Festival Tenun Bipolo

Dalam upaya menghadirkan JNE di Desa Bipolo, kami menggelar acara bertajuk ‘Festival Tenun Bipolo’ yang sukses terselenggara pada 1 Februari 2020 silam. Animo masyarakat sangat tinggi, karena menurut mereka ini adalah perdana diselenggarakannya di Desa Bipolo dengan mengangkat kebudayaan lokal yakni tenunan.

Kami sadar, minimnya jumlah kami yang hanya berdelapan orang tidakkan mungkin bisa bergerak sendirian, karenanya kami menggandeng pihak sekolah mulai dari SD, SMP, SMA, hingga pemerintah dan masyarakat Desa Bipolo. Festival tenun ini mampu menyedot partisipasi yang terlibat sampai 763 orang, sungguh diluar ekspektasi kami, acara yang awalnya hanya mimpi bisa menjadi nyata.

Dan, yang paling tak terlupakan ketika Bapak Theofillus Tapikap selaku Kepala Desa Bipolo dengan lantang mengutarakan pernyataannya saat menggunting pita pertanda diresmikannya acara. “Kami dengan bangga menetapkan 1 Februari 2020 sebagai hari tenunnya Bipolo,” sontak membuat suasana riuh dipenuhi tepuk tangan gembira.

Haru dan bangga, itulah yang membubung di dada kami melihat masyarakat Bipolo bisa tersenyum lebar, gebrakan yang kami inisiasi untuk mengangkat budaya tenun agar terus lestari berbuah manis. “Kami berhasil” kataku dalam hati dengan raut kebahagiaan paripurna.

Tentu ini berkat dukungan dan doa dari berbagai pihak, tak terkecuali JNE sebagai jasa ekspedisi yang sangat membantu karena telah menjadi mitra kami di acara besar ini. JNE tidak tanggung-tanggung memberikan bantuan sponsornya kepada kami, berupa air mineral sebanyak 20 dus, umbul-umbul, merchandise, goody bag untuk 10 orang, snack konsumsi untuk 650 orang, id card untuk 13 orang panitia, sertifikat, banner, photo both, hingga menghadirkan maskot.

Sungguh, kami sangat berterima kasih kepada JNE, khususnya dalam hal ini JNE Cabang Kupang yang telah mendukung kesuksesan acara. Di sela kegiatan, kami memberikan ruang agar JNE bisa melakukan sosialisasi supaya bisa memahamkan urgensi jasa ekspedisi yang diharapkan dapat meluaskan pangsa pasar distribusi dari tenun khas Bipolo.

Gerai JNE di Buka di Desa Bipolo siap antar UMKM Batik Bipolo. (Audry Uyuni)

Kini, Desa Bipolo Punya Gerai JNE

Seusainya masa-masa pengabdian, kami tetap menjalin hubungan baik dengan masyarakat Bipolo juga pihak JNE sendiri. Kami ingin pangsa pasar tenun Bipolo bisa lebih meluas dengan memunculkan jasa ekspedisi. Dan siapa sangka, mimpi kami terwujud nyata. Tepat pada 31 Maret 2020 gerai JNE resmi dibuka di Desa Bipolo, tepatnya di rumah salah satu penenun yang akrab kami sebut Mamah Reti.

Sebagai orang yang terlibat langsung membuka gerai JNE di Bipolo, Fuad Rofiq selaku Head of Marketing dari JNE Cabang Kupang menyampaikan kiranya penjualan produksi tenun dapat lebih dipermudah dengan hadirnya JNE.

“Dengan dibukanya JNE Bipolo masyarakat akan semakin mudah untuk bertransaksi baik mengirimkan kiriman atau menerima kiriman. Apabila sekarang di zaman online semuanya bisa dilakukan dalam satu genggaman, juga kemudahan layanan COD yang mana penerima bisa bayar kiriman setelah barang sampai,” ucap Fuad.

Dengan rasa senang hati, Mamah Reti pun mengutarakan rasa terima kasihnya kepada kami karena festival tenun bisa menjalin kerja sama dengan JNE hingga akhirnya gerai JNE dibuka di Desa Bipolo. “Puji Tuhan, semua proses adanya JNE di Desa Bipolo dimudahkan, terima kasih anak-anak KKN 3T telah memperkenalkan JNE di Desa Bipolo,” kata Mamah Reti membagikan berita bahagia itu lewat pesan suara.

Sosialisasi dilakukan pihak JNE kepada warga masyarakat Desa Bipolo. (Audry Uyuni)

Berkat JNE, Tenun Bipolo Meluas

Iqbal Maulana, rekan kelompokku asal Pekalongan mewakili kami berdelapan turut menuturkan terima kasih tak terhingga kepada JNE karena sudah memfasilitasi mimpi mahasiswa KKN juga masyarakat Bipolo.

“Pada intinya, kami kelompok KKN Bipolo mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak JNE, karena JNE telah memfasilitasi mimpi-mimpi kami dan mungkin mimpi-mimpi masyarakat Bipolo untuk menjadi desa yang lebih berdaya dengan potensinya,” tutur Iqbal penuh antusias.

“Hadirnya JNE sangat membuka peluang pasar, pasar yang tak terbatas ruang, dari manapun bisa membeli produk tenun Bipolo tanpa terhambat akses distribusinya,” lanjutnya.

Harapan kami bersama, dalam rangka memeriahkan #JNE31tahun #JNEMajuIndonesia serta #jnecontentcompetition2021 kami berharap, hadirnya JNE tidak hanya membantu UMKM di Indonesia namun juga bisa meningkatkan perekonomian Bipolo, jauh lebih luas ke segala sektor kehidupan; pendidikan; kesehatan, sosial; dan budaya.

Kini, ibu-ibu pelaku UMKM yang berkutat merajut kain tenun tambah sumringah, sebab mereka mengaku lebih mudah menjangkau pemesanan. Hal itu dikarenakan jasa ekspedisi JNE yang siap mengantarkan kain tenun mereka dari pemesanan yang jauh, meski dari luar daerah. (*)