Medan, Armadaberita.com – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merekomendasikan agar pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran ditunda. Rekomendasi ini disampaikan dengan tujuan memastikan bahwa RUU tersebut tidak mengandung muatan diskriminatif serta menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Komnas Perempuan menyoroti potensi diskriminasi yang terkandung dalam RUU Penyiaran, khususnya terhadap perempuan, kelompok minoritas, dan masyarakat rentan lainnya. Mereka khawatir bahwa ketentuan dalam RUU ini dapat memperkecil ruang demokrasi dan menghalangi kebebasan berekspresi.
“RUU Penyiaran memiliki potensi untuk melanggengkan diskriminasi dan mengkriminalisasi pendapat serta ekspresi, terutama bagi perempuan dan pembela HAM perempuan,” ujar Komisioner Veryanto Sitohang saat dikonfirmasi pada Senin (27/5/2025).
Salah satu poin krusial yang disoroti oleh Komnas Perempuan, kata Veryanto, adalah ketentuan yang mengatur isi dan konten siaran berdasarkan standar kesopanan, kepantasan, dan kesusilaan. Ketentuan ini dinilai dapat menimbulkan standar ganda yang membatasi kebebasan berekspresi, terutama bagi perempuan yang sering diposisikan sebagai “penjaga moral” dalam masyarakat patriarki.
Komnas Perempuan juga menekankan pentingnya peran jurnalistik investigasi dalam mengungkap berbagai kasus kekerasan berbasis gender dan pelanggaran hak asasi manusia. Pasal dalam RUU yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi dianggap bertentangan dengan prinsip jurnalistik universal dan berpotensi menghambat akses korban terhadap keadilan.
Veryanto menambahkan, RUU Penyiaran juga mengabaikan asas inklusif, terutama terkait penyandang disabilitas, dengan tidak adanya pengaturan tentang bahasa isyarat dan syarat kondisi “sehat jasmani dan rohani” yang bisa mendiskriminasikan penyandang disabilitas.
Komnas Perempuan merekomendasikan agar DPR RI menunda pembahasan RUU Penyiaran dan memastikan bahwa RUU tersebut tidak mengandung muatan diskriminatif. Mereka juga menyerukan agar ruang partisipasi publik yang bermakna dan luas dibuka, dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, termasuk lembaga hak asasi manusia, media massa, dan masyarakat sipil.
“DPR RI harus membuka dialog dan mendengarkan masukan dari berbagai pihak untuk memastikan bahwa RUU Penyiaran ini tidak mengorbankan kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta tidak diskriminatif,” pungkas Veryanto Sitohang. (Dewa)
Klik subscribe, untuk mendapatkan pemberitahuan informasi terbaru.