TELAH sejak lama, hewan meringkik ini menjadi lambang kemasyhuran, kekayaan dan kekuasaan para raja dan elit Minangkabau. Tak heran, hingga saat ini kuda-kuda pacuan banyak dimiliki oleh pejabat-pejabat lokal.
Di ranah Minang, pacuan kuda digelar setiap tahun. Menjadi ajang tontonan yang menyedot perhatian publik. Sebagai tradisi, pacu kuda memilih sejarah panjang dan telah mengalami berbagai pergeseran. Seabad lalu, pacuan kuda dimanfaatkan sebagai hiburan sekaligus ajang mencari menantu oleh raja-raja Minangkabau.
Sejak masuknya kolonial Belanda, pacu kuda berubah menjadi ajang penanda identitas para elit dan datuk serta penguasa. Mereka yang memiliki kekuasaan dan posisi penting akan duduk di kursi VIP di tribun gelanggang pacuan kuda. Hal itu semata untuk menunjukkan kekuasaan, kekayaan serta kedudukan para elit di Minangkabau.
Yansen Wapita Anwar dalam jurnal bertajuk “Tradisi Pacu Kuda di Minangkabau, Potret Yang Berubah (Studi Kasus pada Masyarakat Kabupaten Tanah Datar)” menulis telah terjadi pergeseran dalam tradisi pacu kuda yang semula hanya skala lokal menjadi olah raga tingkat nasional. Perubahan itu juga menyebabkan sebagian anak nagari kehilangan permainannya.
Menurut Yansen, di era penjajahan hingga tahun 80-an, pacuan kuda sangat fenomenal, digemari seluruh kalangan, utamanya rakyat jelata. Pacuan kuda tak lagi semata olahraga yang monopoli para raja atau kalangan elit Minangkabau, tetapi telah berubah menjadi pesta rakyat. Soehardjono (1990) menulis, peran kuda dalam pacuan sudah ada sejak 1889. Itu ditandai dengan ditemukannya bukti berupa adanya gelanggang pacuan kuda Bukit Ambacang Bukittinggi dan Kubu Gadang Payakumbuh beserta gelanggang Bukit Gombak Batusangkar. Hingga sekarang sudah ada enam gelanggang pacuan kuda dengan berbeda tipe.
Pacuan kuda tertua terjadi di daerah Agam sejak 1889 yang dimulai dengan memakai sebuah gelanggang permanen berukuran lingkaran 800 meter. Kemudian tiga buah gelanggang lainnya yakni Kubu Gadang di Payakumbuh (1906) dengan panjang lintasan 900 meter, Bukit Gombak di Batusangkar (1913) dengan panjang lintasan 800 meter dan gelanggang Bancab Laweh di Padang Panjang (1913) dengan panjang lintasan 500 meter. Keempat gelanggang tersebut di bawah naungan Rembond, organisasi pacu kuda bentukan pemerintah kolonial Belanda.
Meski pacuan kuda sudah ada sejak 1889 di Minangkabau, namun baru berkembang pesat setelah kemerdekaan. Rembond kemudian bermetamorfosis menjadi Persatuan Olah Raga Berkuda Seluruh Indonesia (PORDASI) yang dibentuk pada 1976. Animo masyarakat menonton pacuan kuda mendorong pemerintah daerah setempat untuk melestarikan dan mengembangkan tradisi ini. Pasca kemerdekaan, pemerintah membangun dua gelanggang lagi, satu daerah Ampang Kualo Solok (1957) dan Balah Aie Pariaman (1970). Peran PORDASI Sumatera Barat sukses melambungkan pacuan kuda dari sekadar hiburan lokal menjadi olah raga berskala nasional. Bahkan pada 1990, PORDASI Sumatera Barat berhasil memecahkan rekor nasional bidang pacuan kuda. Tercatat hingga 2005, kontingen Sumatera Barat telah enam kali menjuarai pacuan kuda tingkat nasional dan beberapa kali memecahkan rekor tak terkalahkan.
Daya tarik pacu kuda benar-benar memikat seluruh elemen masyarakat, mulai dari para elit, pedagang hingga rakyat jelata. Tak heran jika Wendra Alamsyah dalam proposal berjudul Pacu Kuda Race & Tradisional (2005) menggambarkan relasi masyarakat Minangkabau dengan pacu kuda bagai sekeping mata uang, tak bisa dipisahkan. Kuatnya relasi itu juga tercermin dalam karya-karya sastra lokal sepasti novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk”, karya Buya Hamka atau “Sengsara Membawa Nikmat” yang ditulis Sutan Sati. Di dua novel tersebut digambarkan betapa pacuan kuda serupa magnet raksasa yang menyedot perhatian masyarakat luas.
Setiap kali perhelatan tradisi pacu kuda digelar, antusias warga untuk menyaksikannya seakan tak terbendung. Masyarakat begitu berhasrat untuk bisa menontonnya. Sampai-sampai, beberapa bulan sebelum perhelatan digelar, rakyat kelas bawah rela menabung semata agar bisa membeli tiket nonton pacuan kuda ini. Saking fenomenalnya pacu kuda, para pedagang memanfaatkannya untuk mendulang pundi-pundi rupiah. Sebagai puncak keramaian, pacuan kuda pun kerap diselingi dengan hiburan dan pasar malam.
Sayangnya, sejak 1990an, kepopuleran pacu kuda merosot. Tradisi pacu kuda perlahan kehilangan daya tariknya. Beberapa tahun, pacu kuda mendadak tidak lagi digelar. Ringkik kuda pacu perlahan tinggal sayup-sayup. Tradisi pacu kuda sempat vakum sejak.2009 dan baru dihidupkan kembali pada 2014. Kevakuman itu diduga karena menguatnya pragmatisme masyarakat dan meluasnya pendapat kalangan agamais yang menuding pacu kuda sebagai pemicu perjudian.
Sebagai tradisi yang sekaligus menjadi permainan rakyat, pacuan kuda kini dimanfaatkan sebagai alat mendongkrak potensi pariwisata Sumatera Barat. Pemkab bersama PORDASI konsisten melaksanakan pacuan kuda secara rutin. Pemerintah juga melibatkan berbagi pihak mulai dari dinas peternakan, dinas pariwisata dan juga masyarakat untuk menyukseskan tradisi pacuan kuda.
Menyadari potensi pacu kuda dalam menaikkan nilai sektor pariwisata, Bupati Padangpariaman Ali Mukhni secara tegas meminta anak buahnya agar mengelola lomba pacu kuda secara sungguh-sungguh. Ia juga menseriusi upaya menjaring joki-joki muda yang benar-benar tangguh, dan bisa mengharumkan nama daerah Padangpariaman khususnya dan Indonesia.
Sebagai permainan masyarakat Minangkabau, yang berubah menjadi olahraga nasional dan memiliki akar sejarah panjang, tradisi pacu kuda telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah kebudayaan kita. Memelihara ringkik kuda digelanggang pacu menjadi penanda identitas kekayaan keragaman kebudayaan masyarakat Nusantara. (Dedy Hutajulu)
Klik subscribe, untuk mendapatkan pemberitahuan informasi terbaru.